Minggu, 27 Oktober 2013

laporan farmakologi analgetik



LAPORAN HASIL PRAKTIKUM FARMAKOLOGI


“ANALGETIK DAN HUBUNGAN DOSIS-RESPON “
Nama kelompok :
Anisah shabrina        (1104015022)
Ardina citra astuti     (1104015031)
Firma maulida        (1104015106)
Lina karlina        (1104015175)
Meri rosmalita        (1104015195)
Kelompok     : 3
Gelombang    : 1
Kelas        : 5 C

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
JURUSAN FARMASI
JAKARTA
 2013

BAB I
PENDAHULUAN
    Latar Belakang
Sebagai mahasiswa farmasi sedah seharusnya kita mengetahui dosis suatu obat yang akan diberikan kepada pasien. Dosis obat adalah jumlah atau ukuran yang diharapakan dapat menghasilkan efek terapi pada fungsi tubuh yang mengalami gangguan. Tujuan dari penetapan dosis obat ini adalah untuk mendapatkan efek terapeutis dari suatu obat. Hampir semua obat pada dosis yang cukup besar menimbulkan efek toksik dan pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian. Hal yang menjadi latar belakang materi ini adalah agar kita mengetaui kaitan atara peningkatan dosis terhadap respon yang diberikan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
    Teori Dasar
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Keadaan psikis sangan memengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit (kepala) atau pemperhebatnya, tetapi dapat menghindarkan sensasi rangsangan nyeri. Nyeri merupakan rangsangan subjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni 44-45oC.
Mediator nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi sebagai isyarat bahaya tentang adanya gangguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri, a.l histamin, bradikin, leukotrien dan prostaglandin.
Analgetk atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetik dibagi dalam dua kelompok besar, yakni:
    Analgetika perifer (non-narkotik)
Analgesik perifer merintangi terbentuknya rangsangan reseptor nyeri perifer, yang terdiri dari obat-obat yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika anti radang termasuk dalam kelompok ini. Secara kimiawi analgetik analgetik perifer dapat dibagi kedalam beberapa kelompok, yakni:
    Parasetamol
    Salisilat: asetosal, salisilamida dan benorilat
    Penghambat prostaglandin (NSAIDs): ibuprofen,dll
    Devirat-antranilat: mefenaminat, glafenin
    Devirat-pirazolinon: propifenazon, isoprofilaminofenazon dan metamizol.
    Lainnya: benzidamin (tantum)
    Analgetik opioid (narkotik)
Analgetik narkotik adalah obat-obat yang daya kerjanya meniru (mimic) opioid endogen dengan memperpanjang aktivasi dari reseptor-reseptor opioid (biasanya µ reseptor).  Zat-zat ini bekerja terhadap reseptor opioid khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan respon emosional terhadap nyeri berubah (dikuragi). Daya kerjanya diantagonir oleh a.l nalokson. Minimal ada 4 jenis reseptor yang pengikatan padanya menimbulkan analgesia. Tubuh dapat mensintesa zat-zat opioidnya sendiri, yakni zat-zat endofirin, yang juga bekerja melalui reseptor-reseptor tersebut.
Atas dasar cara kerjanya, obat-obat ini dapat digolongkan dalam 3 kelompok,yakni:
    Agonis opiat, yang dapat dibagi dalam:
    Alkaloida candu: morfin, kodein, heroin, nikromorfin.
    Zat-zat sintesis: metadon dan derivatnya (dekstromoramida, propoksifen, bezitramida), petidin dan derivatnya (fentanil, sufentanil) dan tramadol.
Cara kerja obat ini sama dengan morfin, hanya brlainan mengenai potensi dan lama kerjanya, efek samping dan resiko akan kebiasaan dengan ketergantungan fisik.
    Antagonis opiat: nalokson, nalorfin, pentazosin dan buprenorfin (temgesik). Bila digunakan sebagai analgetikum, obat-obat ini dapat menduduki salah satu reseptor.
    Campuran: nalorfin, nalbufin (nubain). Zat-zai ini dengan kerja campuran juga mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak tahu hanya sedikit mengaktivasi daya kerjanya. Kurva dosis atau efeknya memperlihatkan plafon, sesudah dosis tertentu peningkatan dosis tidak memperbesar lagi efek analgetiknya. Praktis tidak menimbulkan dpresi pernapasan.
Undang-undang narkotika diberbagai negara, beberapa unsur dari kelompok obat seperti propoksifen, pentazosin dan tramadol tidak termasuk dalam undang-undang narkotika, karena bahaya kebiasaan dan adiksinya ringan sekali. Namun peggunaannya dalam waktu lama tidak dianjurkan.
WHO telah menyusun suatu program penggunaan analgetika untuk nyeri hebat, seperti pada kanker, yang menggolongkan obat dalam tiga kelas, yakni:
    Non-opioida: NSAID’s, termasuk asetosal, parasetamol dan kodein
    Opioida lemah: d-propoksifen, tramadol dan kodein, atau kombinasi parasetamol dengan kodein.
    Opioida kuat: morfin dan derivatnya (heroin) serta opioida sentesis.
Menurut program pengobatan ini pertama-tama diberikan 4 dd 1 g paracetamol,bila efeknya kurang, beralih ke 4-6 dd parasetamol-kodein 30-60mg. Baru bila langkah kedua ini tidak menghasilkan analgesik yang memuaskan, dapat diberikan opioid kuat. Pilihan pertama dalam hal ini adalah morfin (oral, subkutan kontinu, intravena, epidural atau spinal). Tujuan utama dari program ini adalah ntuk menghindarkan resiko kebiasaan dn adiksi untuk opioida, bila diberikan sembarangan.
Tramadol adalah analog kodein sintetik yang merupakan agonis reseptor µ yang lemah. Sebagian dari efek analgetiknya ditimbulkan oleh inhibisi ambilan nonepinefrin dan serotonin. Tramadol sama efektif dengan morfin atau meperidin untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah.Untuk nyeri persalinan tramadol sama efektif dengan meperidin dan kurang menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus.
Efek samping yang umum mual, muntah, pusing, mulut kering, sedasi dan sakit kepala. Depresi pernapasan nampaknya kurang dibandingkan dengan dosis ekuianalgetik morfin, dan derajat konstipasinya kuran dari pada dosis ekuivalen kodein. Tramadol dapat menyebabkan konvlusi atau menyebabkan kambuhnya serangan konvlusi. Depresi nafas akibat tramadol dapat diatasi oleh nalokson akan tetapi penggunaan nalokson meningkatkan resiko konvlusi. Analgesia yang ditimbulkan tramadol tidak dipengaruhi oleh nalokson. Ketergantungan fisik terhadap tramadol dan penyalahgunaan dilaporkan dapat terjadi. Meskipun pitensi penyalahgunaan tidak/ belum jelas, sebaiknya tramadol dihindarkan pasa pasien dengan sejarah adiksi. Karena efek inhibisinya terhadap ambilan serotonin, tramadol sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang menggunakan penghambat monoamin-oksidase (MAO).

BAB III
METODEOLOGI
ALAT DAN BAHAN
    Alat
    Alat suntik
    Timbangan hewan
    Wadah pengamatan
    Kompor listrik
    Beaker glass
    Hot plate
    stopwatch
    Bahan
    Mencit jantan
    Obat: tramadol dosis 50mg/kgBB, 100mg/kgBB, 150mg/kgBB.
Prosedur Pengerjaan
Metode Jentik Ekor (Tail Flick)
    Timbang masing-masing mencit, beri tanda, catat.
    Hitung VAO masing-masing mecit.
    Sebelum diberikan obat, hitung waktu mencit memberikan respon terhadap rangsang menggunakan stopwatch.
    Suntikan obat secara intra moscular kepada masing-masing mencit.
    Pengamatan dilakukan pada menit ke 5, 15, 30 dan 45.
    Pada setiap waktu pengamatan, pengamatan dilakukan 3 kali dan dihitung rata-ratanya. Jika mencit tidak menjentikan ekornya lebih dari 10 detik, maka dianggap bahwa mecit tidak meyadari stimulus tersebut dan waktu d anggap 10 detik.
    Buatlah tabel hasil pengamatab dan gambarkan kurva hubungan antara dosis yang diberikan terhadap respon mencit untuk stimulus nyeri.
Metode Pelat Panas (Hot Plate)
    Timbang masing-masing mencit, beri tanda, catat.
    Hitung VAO masing-masing mecit.
    Sebelum diberikan obat, hitung waktu mencit memberikan respon terhadap rangsang menggunakan stopwatch.
    Suntikan obat secara intra moscular kepada masing-masing mencit.
    Pengamatan dilakukan pada menit ke 5, 15, 30 dan 45.
    Pada setiap waktu pengamatan, pengamatan dilakukan 3 kali dan dihitung rata-ratanya.
    Buatlah tabel hasil pengamatab dan gambarkan kurva hubungan antara dosis yang diberikan terhadap respon mencit untuk stimulus nyeri.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
    Hasil
Tabel hasil pengamatan
    Metode Hot Plate
Dosis mencit    BB (kg)    Dosis (VAO)    Pengamatan
            sebelum    5’    15’    30’    45’
50mg/kgBB    0.027    0.058    2”    3.2”    1.44”    2.54”    3.4”
    0.037    0.066    6.3”    7.25”    7.95”    17.6”    7.93”
100mg/kgBB    0.029    0.027    3”    3.6”    2.3”    4”    4.3”
    0.033    0.037    ”1    2”    6”    3.33”    2”
150mg/kgBB    0.029    0.087    1.33”    7.76”    10”    10”    5”

    Metode Tail Flick
Dosis mencit    BB (kg)    Dosis (VAO)    Pengamatan
            sebelum    5’    15’    30’    45’
50mg/kgBB    0.027    O.O27    2    3    10    10    10
    0.032    0.032    8.31    6.3    10    10    5.67
100mg/kgBB    0.038    0.076    3    6    10    10    10
    0.037    0.062    2    10    10    10    8
150mg/kgBB    0.0221    0.072    1    8.6    10    8.33    9

Perhitugan dosis (VAO)
    Hot plate
    Dosis 50 mg/kgBB
(50mg/kgBB x 0.027kg)/(50 mg/ml)=0.027 ml
(50mg/kgBB x 0.037kg)/(50mg/ml)=0.037ml
    Dosis 100mg/kgBB
(100mg/kgBB x 0.029kg)/(50 mg/ml)=0.058ml
(100mg/kgBB x 0.033kg)/(50mg/ml)=0.66ml
    Dosis 150 mg/kgBB
(150mg/kgBB x 0.029kg)/(50mg/ml)=0.087ml
    Tail flick
    Dosis 50mg/kgBB
(50mg/kgBB x 0.032kg)/(50mg/ml)=0.032ml
(50mg/kgBB x 0.027kg)/(50mg/ml)=0.027ml
    Dosis 100mg/kgBB
(100mg/kgBB x 0.038kg)/(50mg/ml)=0.0076ml
(100mg/kgBB x 0.037kg)/(50mg/ml)=0.062ml
    Dosis 150 mg/kgBB
(150mg/kgBB x 0.0221)/(50mg/ml)=0.072ml
Kurva hasil pengamatan
    Metode hot plate

    Metode tail flick

    Pembahasan
Analgesik adalah obat yang dapat dipergunakan untuk menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri. Pada praktikum kali ini digunakan analgesik tramadol dengan berbagai dosis yaitu 50mg/kgBB, 100mg/kgBB dan 150mg/kgBB. Pemberian dosis yang berbeda bertujuan untuk melihat hubungan antara dosis dengan respon yang diberikan. Berdasarkan literatur, semakin tinggi dosis makan efek terapi yang diberikan akan semakin meningkat.
Metode praktikum yang digunakan kali ini adalah metode hot plate dan metode tail flick. Metode hotplete menggunakan plat panas dengan suhu ±50˚C, mencit diletakan diatas plat panas sampai melompat atau metasakan sensasi panas dari plate tersebut. Sedangkan pada metode tail flick dilakukan dengan mencelupkan ekor mncit kedalam beker glass yang telah di isi air dan dipanaskan sebelumnya. Berdasarkan literatur, metode hotplate lebih sensitiv memberikan sensasi panas karena pada metode hot plate bagian tubuh yang terkena rangsang panas adalah kaki. Kaki memiliki luas permukaan lebih besar dari pada bagian ekor, sehingga metode hot plate lebih sensitiv merasakan panas.
Pada metode hot plate dengan dosis 50mg/kgBB digunakan dua mencit dengan berat badan masing-masing 0.027kg dan 0.037kg. mencit pertama sebelum diberi obat kemudian diberi rangsangan memberikan respon setelah 2 detik sedangkan setelah diberi obat dan didiamkan kemudian diberi rangsang panas pada menit ke 5, 15, 30 dan 45 masing masing memberikan respon pada detik ke 3.2, 1.44, 2.54 dan 3.4 detik. Pada mencit pertama semakin lama didiamkan waktu mencit memberikan respon semakin lama, har tersebut dikarenakan obat yang mulai bekerja pada mencit tersebut. Seperti halnya pada mencit pertama, pada mencit kedua tejadi kenaikan waktu mencit dalam memberikan respon dan menurun pada menit ke 45, hal tersebut dikarenakan efek obat didalam tubuh mulai hilang sehingga mencit lebih cepat merasakan panas. Begitu pula pada dosis 100mg/kgBB dan 150mg/kgBB semakin dosis dinaikan lama waktu mencit menjentikan ekornya semakin lama, mencit pertama dengan dosis 100mg/kgBB waktu memberikan respon naik turun pada setiap waktu pengamatan. Hal tersebut karena kesalahan praktikan dalam meletakan mencit diatas plat panas, kesalahan dalam menghitung waktu dan karena mencit yang digunakan hiper aktif sehingga ketika mencit bergerak dianggap sudah memberikan respon panas.
Pada metode tail flick cara pengamatan sama seperti pada metode hot plate, pada dosis 100 mg/kgBB mencit pertama sebelum diberikan obat memberikan respon setelah 2 detik dan mencit ke 2 berespon setelh 8.31 detik. Setelah diberikan tramadol dan dibiarkan sampat waktu pengamatan 5, 15, 30 dan 45 menit mentit pertama memberikan rangsangan masing-masing 6 detik untuk waktu 5 menit dan 10 menit untuk watu pengamatan lainnya. Pada mencit kedua pada manit k 5 sapai 30 merespon pada detik 10 sedangkan pada menit 45 merespon pada detik ke 8. Pada dosis 50mg/kgBB mencit pertama pada menit ke 5 memberikan respon pada detik ke 3, setelah itu mmberikan respon lebih dari 10 detik.pada mencit kedua, respon setelah diberi obat lebih cepat dari sebelum diberi obat, kemudian meningkat pada menit ke 15 dan 30 kemudian menurun pada dosis 45. Pada dosis 150mg/kgBB waktu mencit memberikan rangsangan naik turun, hal tersebut karena kesalahan praktikan mungkin ketika memegang mencit, mencit tidak merasa nyaman sehingga mencit lebih cepat menjentikan ekornya

BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
    Pada percobaan dilakukan pemberian obat melalui rute inta moscular
    Obat yang digunakan adalah tramadol dengan dosis 50mg/kgBB, 100mg/kgBB dan 150mg/kgBB.
    Tramadol termasuk kedalan analgesik narkotik
    Semakin tinggi dosis makan efek terapi obat semakin lama
    Metode hot plate lebih sensitiv dari metode tail flick

DAFTAR PUSTAKA

Katzung, Bertram G.2010.Farmakologi Dasar & Klinik.Jakarta:EGC
Sukandar, Elin Yuniarti,dkk.2010.ISO FARMAKOTERAPI.Jakarta:ISFI
Syarif, Amir,dkk.2011.FARMAKOLOGI DAN TERAPI.Jakarta:FKUI
Tjay, Tan Hoan., Rahardja, Kirana.2010.Obat-Obat Penting.Jakarta:Gramedia
http://pharmacyindonesia.blogspot.com/2011/06/dosis-obat.html (diakses 22 oktober 2013)